Bangkalan merupakan salah satu dari 4 Kabupaten di Madura setelah
Sampang, Pamekasan dan Sumenep yang terletak di sebelah ujung Barat
Pulau Madura. Jika TreTan mengunjungi Pulau Garam Madura melalui
Pelabuhan Perak Surabaya dan sampai di Pelabuhan Ujung Kamal, maka
TreTan telah menginjakkan kaki di Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan.
Dari
Pelabuhan Ujung Kamal untuk mencapai Kota Bangkalan, diperlukan
perjalanan sejauh sekitar 43 KM melewati pedesaan dan pemandangan alam
berupa persawahan dan ketika sampai pada Kota Bangkalan, akan terlihat
hiruk pikuk kehidupan, lalu lalang berbagai kendaraan umum dan ramainya
toko berderet-deret menjual berbagai kebutuhan.
Terdiri dari 18 Kecamatan dengan 273 Desa dan 8 Kelurahan dengan pusat pemerintahan di Kecamatan Bangkalan.
Banyak
hal yang akan ditemui ketika sampai dikota kecil ini, namun sebelum itu
perlu sedikit pengetahuan bagaimana asal usul dari Kabupaten Bangkalan
ini? berikut adalah cerita mengenai Kabupaten Bangkalan yang tidak
terlepas dengan cerita masa lalu sebagaimana Kabupaten di Madura
lainnya.
Asal Usul Kabupaten Bangkalan
Bangkalan berasal dari kata “bangkah” dan ”la’an” yang artinya “mati sudah”. Istilah ini diambil dari cerita legenda tewasnya pemberontak
sakti Ki Lesap yang tewas di Madura Barat. Menurut beberapa sumber,
disebutkan bahwa Raja Majapahit yaitu Brawijaya ke V telah masuk Islam (data kekunoan di Makam Putri Cempa di Trowulan, Mojokerto).
Namun demikian siapa sebenarnya yang dianggap Brawijaya ke V ini ?.
Didalam buku Madura en Zijin Vorstenhuis dimuat antara lain Stamboon van
het Geslacht Tjakradiningrat.
Dari Stamboon tersebut tercatat bahwa Prabu
Brawijaya ke V memerintah tahun 1468–1478. Dengan demikian, maka yang
disebut dengan gelar Brawijaya ke V (Madura en Zijin Vorstenhuis hal 79)
adalah Bhre Krtabhumi dan mempunyai 2 (dua) orang anak dari dua
istri selir. Dari yang bernama Endang Sasmito Wati melahirkan Ario Damar
dan dari istri yang bernama Ratu Dworo Wati atau dikenal dengan sebutan
Putri Cina melahirkan Lembu Peteng. Selanjutnya Ario Damar (Adipati
Palembang) mempunyai anak bernama Menak Senojo.
Menak
Senojo tiba di Proppo Pamekasan dengan menaiki bulus putih dari
Palembang kemudian meneruskan perjalannya ke Barat (Bangkalan). Saat dalam perjalanan di taman mandi Sara Sido di Sampang pada tengah malam Menak Senojo
mendapati banyak bidadari mandi di taman itu, oleh Menak Senojo pakaian
salah satu bidadari itu diambil yang mana bidadari itu tidak bisa
kembali ke kayangan dan akhirnya jadi istri Menak Senojo.
Bidadari tersebut bernama Nyai Peri Tunjung Biru Bulan atau disebut juga Putri Tunjung Biru Sari. Menak Senojo dan Nyai Peri Tunjung Biru Bulan mempunyai anak Ario Timbul. Ario Timbul mempunyai anak Ario Kudut. Ario Kudut mempunyai anak Ario Pojok.
Sedangkan di pihak Lembu Peteng yang bermula tinggal di Madegan Sampang
kemudian pindah ke Ampel (Surabaya) sampai meninggal dan dimakamkan di
Ampel, Lembu Peteng mempunyai anak bernama Ario Manger yang menggantikan
ayahnya di Madegan Sampang. Ario Manger mempunyai anak Ario Pratikel yang semasa hidupnya tinggal di Gili Mandangin (Pulau Kambing). Dan Ario Pratikel mempunyai anak Nyai Ageng Budo.
Nyai
Ageng Budo inilah yang kemudian kawin dengan Ario Pojok. Dengan
demikian keturunan Lembu Peteng menjadi satu dengan keturunan Ario
Damar. Dari perkawinan tersebut lahirlah Kiai Demang yang selanjutnya
merupakan cikal bakal Kota Baru dan kemudian disebut Plakaran. Jadi Kiai
Demang bertahta di Plakaran Arosbaya dan ibukotanya Kota Baru (Kota
Anyar) yang terletak disebelah Timurdaya Arosbaya. Dari perkawinannya
dengan Nyai Sumekar mempunyai 5 (lima) orang anak yaitu :
- Kiai Adipati Pramono di Madegan Sampang.
- Kiai Pratolo disebut juga Pangeran Parambusan.
- Kiai Pratali atau disebut juga Pangeran Pesapen .
- Pangeran Paningkan disebut juga dengan nama Pangeran Suka Sudo .
- Kiai Pragalbo yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Plakaran karena bertahta
di Plakaran, setelah meninggal dikenal sebagai Pangeran Islam Onggu’ .
Namun perkembangan Bangkalan bukan berasal dari legenda ini,
melainkan diawali dari sejarah perkembangan Islam di daerah itu pada
masa pemerintahan Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur.
Beliau adalah anak Raja Pragalba,
pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya, sekitar 20 km dari
kota Bangkalan ke arah utara. Panembahan Pratanu diangkat sebagai raja
pada 24 Oktober 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalba wafat. Jauh sebelum
pengangkatan itu, ketika Pratanu masih dipersiapkan sebagai pangeran,
dia bermimpi didatangi orang yang menganjurkan dia memeluk agama Islam.
Mimpi ini diceritakan kepada ayahnya yang kemudian memerintahkan patih
Empu Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus.
Perintah ini dilaksanakan sebaik-baiknya,
bahkan Bageno bersedia masuk Islam sesuai saran Sunan Kudus sebelum
menjadi santrinya selama beberapa waktu lamanya. Ia kembali ke Arosbaya
dengan ilmu keislamannya dan memperkenalkannya kepada Pangeran Pratanu.
Pangeran ini sempat marah setelah tahu Bageno
masuk Islam mendahuluinya. Tapi setelah dijelaskan bahwa Sunan Kudus
mewajibkannya masuk Islam sebelum mempelajari agama itu, Pangeran
Pratanu menjadi maklum.
Setelah ia sendiri masuk Islam dan mempelajari agama
itu dari Empu Bageno, ia kemudian menyebarkan agama itu ke seluruh
warga Arosbaya. Namun ayahnya, Raja Pragalba, belum tertarik untuk masuk
Islam sampai ia wafat dan digantikan oleh Pangeran Pratanu.
Perkembangan Islam itulah yang dianut oleh pimpinan di Kabupaten
Bangkalan ketika akan menentukan hari jadi kota Bangkalan, bukan
perkembangan kekuasan kerajaan di daerah itu.
Jauh sebelum Pangeran Pratanu dan Empu Bageno menyebarkan Islam, sejumlah kerajaan kecil di Bangkalan.
Diawali
dari Kerajaan Plakaran yang didirikan oleh Kyai Demang dari Sampang.
Yang diperkirakan merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit yang sangat
berpengaruh pada saat itu.
Kyai Demang menikah dengan
Nyi Sumekar, yang diantaranya melahirkan Raden Pragalba. Pragalba
menikahi tiga wanita. Pratanu adalah anak Pragalba dari istri ketiga
yang dipersiapkan sebagai putera mahkota dan kemudian dikenal sebagai
raja Islam pertama di Madura. Pratanu menikah dengan putri dari Pajang
yang memperoleh keturunan lima orang :
- Pangeran Sidhing Gili yang memerintah di Sampang.
- Raden Koro yang bergelar Pangeran Tengah di Arosbaya, Raden Koro menggantikan ayahnya
- ketika Pratanu wafat.
- Pangeran Blega yang diberi kekuasaan di Blega.
- Ratu Mas di Pasuruan dan Ratu Ayu.
Kerajaan Arosbaya runtuh diserang oleh Mataram pada masa pemerintahan Pangeran Mas pada tahun 1624.
Pada pertempuran ini Mataram kehilangan panglima perangnya, Tumenggung
Demak, beberapa pejabat tinggi kerajaan dan sebanyak 6.000 prajurit
gugur.
Korban yang besar ini terjadi pada pertempuran mendadak pada hari Minggu, 15
September 1624, yang merupakan perang besar. Laki-laki dan perempuan
kemedan laga. Beberapa pejuang laki-laki sebenarnya masih bisa tertolong
jiwanya. Namun ketika para wanita akan menolong mereka melihat luka
laki-laki itu berada pada punggung, mereka justru malah membunuhnya.
Luka di punggung itu menandakan bahwa mereka melarikan diri,
yang dianggap menyalahi jiwa ksatria. Saat keruntuhan kerajaan itu,
Pangeran Mas melarikan diri ke Giri. Sedangkan Prasena (putera ketiga
Pangeran Tengah) dibawa oleh Juru Kitting ke Mataram, yang kemudian
diakui sebagai anak angkat oleh Sultan Agung dan dilantik menjadi
penguasa seluruh Madura yang berkedudukan di Sampang dan bergelar
Tjakraningrat I. Keturunan Tjakraningrat inilah yang kemudian
mengembangkan pemerintahan kerajaan baru di Madura, termasuk Bangkalan.
Tjakraningrat
I menikah dengan adik Sultan Agung. Selama pemerintahannya ia tidak
banyak berada di Sampang, sebab ia diwajibkan melapor ke Mataram sekali
setahun ditambah beberapa tugas lainnya. Sementara kekuasaan di Madura diserahkan kepada Sontomerto.
Dari perkawinannya dengan adik Sultan Agung, Tjakraningrat
tidak mempunyai keturunan sampai istrinya wafat. Baru dari
pernikahannya dengan Ratu Ibu ( Syarifah Ambani, keturunan Sunan Giri ),
ia memperoleh tiga orang anak dan beberapa orang anak lainnya diperoleh
dari selirnya (Tertera pada Silsilah yang ada di Asta Aer Mata Ibu.
Bangkalan berkembang mulai tahun 1891 sebagai pusat kerajaan dari
seluruh kekuasaan di Madura, pada masa pemerintahan Pangeran
Tjakraningrat II yang bergelar Sultan Bangkalan II. Raja ini banyak
berjasa kepada Belanda dengan membantu mengembalikan kekuasaan Belanda
di beberapa daerah di Nusantara bersama tentara Inggris.
Karena jasa-jasa Tjakraningrat II itu,
Belanda memberikan izin kepadanya untuk mendirikan militer yang disebut
‘Corps Barisan’ dengan berbagai persenjataan resmi modern saat itu.
Bisa dikatakan Bangkalan pada waktu itu merupakan gudang senjata,
termasuk gudang bahan peledak. Namun perkembangan kerajaan di Bangkalan
justru mengkhawatirkan Belanda setelah kerajaan itu semakin kuat,
meskipun kekuatan itu merupakan hasil pemberian Belanda atas jasa-jasa
Tjakraningrat II membantu memadamkan pemberontakan di beberapa daerah.
Belanda
ingin menghapus kerajaan itu. Ketika Tjakraningrat II wafat, kemudian
digantikan oleh Pangeran Adipati Setjoadiningrat IV yang bergelar
Panembahan Tjokroningrat VIII, Belanda belum berhasil menghapus kerajaan
itu. Baru setelah Panembahan Tjokroadiningrat wafat, sementara tidak
ada putera mahkota yang menggantikannya, Belanda memiliki kesempatan
menghapus kerajaan yang kekuasaannya meliputi wilayah Madura itu.
Raja Bangkalan Dari Tahun 1531 – 1882
- Tahun 1531 – 1592 : Kiai Pratanu (Panembahan Lemah Duwur)
- Tahun 1592 – 1620 : Raden Koro (Pangeran Tengah)
- Tahun 1621 – 1624 : Pangeran Mas
- Tahun 1624 – 1648 : Raden Prasmo (Pangeran Cakraningrat I)
- Tahun 1648 – 1707 : Raden Undakan (Pangeran Cakraningrat II)
- Tahun 1707 – 1718 : Raden Tumenggung Suroadiningrat
- · (Pangeran Cakraningrat III)
- · Tahun 1718 – 1745 : Pangeran Sidingkap (Pangeran Cakraningrat IV)
- Tahun 1745 – 1770 : Pangeran Sidomukti (Pangeran Cakraningrat V)
- Tahun 1770 – 1780 : Raden Tumenggung Mangkudiningrat
- (Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VI)
- Tahun 1780 – 1815 : Sultan Abdu/Sultan Bangkalan I
- · (Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VII)
- · Tahun 1815 – 1847 : Sultan Abdul Kadirun (Sultan Bangkalan II)
- Tahun 1847 – 1862 : Raden Yusuf (Panembahan Cakraadiningrat VII)
- Tahun 1862 – 1882 : Raden Ismael (Panembahan Cakraadiningrat VIII)
Menggali Sejarah Bangkalan, Selanjutnya
Dari
Pra Islam Hingga Cakraningrat Madura Barat (Bangkalan) Masa Hindu dan
Budha Dari Plakaran Ke Arosbaya, Pragalba ke Pratanu (Lemah Dhuwur)
Cakraningrat I Anak Angkat Sultan Agung Madura Barat (Bangkalan) Masa
Hindu dan Budha Bangkalan, Bangkalan dulunya lebih dikenal dengan
sebutan Madura barat. Penyebutan ini, mungkin lebih ditekankan pada
alasan geografis. Soalnya, Kabupaten Bangkalan memang terletak di ujung
barat Pulau Madura. Dan, sejak dulu, Pulau Madura memang sudah
terbagi-bagi.
Bahkan, tiap bagian memiliki sejarah dan
legenda sendiri-sendiri. Berikut laporan wartawan Radar Madura di
Bangkalan, Risang Bima Wijaya secara bersambung. Menurut legenda,
sejarah Madura barat bermula dari munculnya seorang raja dari Gili
Mandangin (sebuah pulau kecil di selat Madura) atau lebih tepatnya di
daerah Sampang.
Nama raja tersebut adalah Lembu Peteng,
yang masih merupakan putra Majapahit hasil perkawinan dengan putri
Islam asal Campa. Lembu Peteng juga seorang santri Sunan Ampel.
Dan,
Lembu Peteng-lah yang dikenal sebagai penguasa Islam pertama di Madura
Barat. Namun dalam perkembangan sejarahnya, ternyata diketahui bahwa
sebelum Islam, Madura pernah diperintah oleh penguasa non muslim, yang
merupakan yang berasal dari kerajaan Singasari dan Majapahit. Hal ini
diperkuat dengan adanya pernyataan Tome Pires (1944 : 227) yang
mengatakan, pada permulaan dasawarsa abad 16, raja Madura belum masuk
Islam. Dan dia adalah seorang bangsawan mantu Gusti Pate dari Majapahit.
Pernyataan itu diperkuat dengan adanya temuan – temuan arkeologis, baik
yang bernafaskan Hindu dan Bhudda.
Temuan tersebut
ditemukan di Desa Kemoning, berupa sebuah lingga yang memuat inskripsi.
Sayangnya, tidak semua baris kalimat dapat terbaca. Dari tujuh baris
yang terdapat di lingga tersebut, pada baris pertama tertulis, I Caka
1301 (1379 M), dan baris terakhir tertulis, Cadra Sengala Lombo, Nagara
Gata Bhuwana Agong (Nagara: 1, Gata: 5, Bhuwana: 1, Agong: 1) bila
dibaca dari belakang, dapat diangkakan menjadi 1151 Caka 1229 M. Temuan
lainnya berupa fragmen bangunan kuno, yang merupakan situs candi. Oleh
masyarakat setempat dianggap reruntuhan kerajaan kecil.
Baca Juga: Sejarah Sultan R. Abdul Kadir Cakra Adiningrat II
Juga
ditemukan reruntuhan gua yang dikenal masyarakat dengan nama Somor
Dhaksan, lengkap dengan candhra sengkala memet bergambar dua ekor kuda
mengapit raksasa. Berangkat dari berbagai temuan itulah, diperoleh
gambaran bahwa antara tahun 1105 M sampai 1379 M atau setidaknya masa
periode Singasari dan Majapahit akhir, terdapat adanya pengaruh Hindu
dan Bhudda di Madura barat.
Sementara temuan arkeologis
yang menyatakan masa klasik Bangkalan, ditemukan di Desa Patengteng,
Kecamatan Modung, berupa sebuah arca Siwa dan sebuah arca laki-laki.
Sedang di Desa Dlamba Daja dan Desa Rongderin, Kecamatan Tanah Merah,
terdapat beberapa arca, di antaranya adalah arca Dhayani Budha.
Temuan
lainnya berupa dua buah arca ditemukan di Desa Sukolilo Barat Kecamatan
Labang. Dua buah arca Siwa lainnya ditemukan di pusat kota Bangkalan.
Sementara di Desa Tanjung Anyar Bangkalan ditemukan bekas Gapura, pintu
masuk kraton kuno yang berbahan bata merah. Di samping itu, berbagai
temuan yang berbau Siwais juga ditemukan di makam-makam raja Islam yang
terdapat di Kecamatan Arosbaya. Arosbaya ini pernah menjadi pusat
pemerintahan di Bangkalan. Misalnya pada makam Oggo Kusumo, Syarif
Abdurrachman atau Musyarif (Syech Husen).
Pada jarak
sekitar 200 meter dari makam tersebut ditemukan arca Ganesha dan arca
Bhirawa berukuran besar. Demikian pula dengan temuan arkeologis yang di
kompleks Makam Agung Panembahan Lemah Duwur, ditemukan sebuah fragmen
makam berupa belalai dari batu andesit. Dengan temuan-temuan benda kuno
yang bernafaskan Siwais di makam-makam Islam di daerah Arosbaya itu,
memberi petunjuk bahwa Arosbaya pernah menjadi wilayah perkembangan
budaya Hindu.
Penemuan benda berbau Hindu pada
situs-situs Islam tersebut menandakan adanya konsinyuitas antara
kesucian. Artinya, mandala Hindu dipilih untuk membangun arsitektur
Islam. Arosbaya merupakan pusat perkembangan kebudayaan Hindu di Madura
Barat (Bangakalan) semakin kuat dengan adanmya temuan berupa bekas
pelabuhan yang arsitekturnya bernafaskan Hindu, dan berbentuk layaknya
sebuah pelabuhan Cina.
(Risang Bima Wijaya) atas Dari
Plakaran Ke Arosbaya, Pragalba ke Pratanu (Lemah Dhuwur) Bangkalan,
Radar.- Sosok Pratanu atau lebih dikenal dengan Panembahan Lemah Duwur
adalah putera Raja Pragalba. Dia dikenal sebagai pendiri kerajaan kecil,
yang berpusat di Arosbaya. Masyarakat Bangakalan menokohkan Pratanu
sebagai penyebar agama Islam yang pertama di Madura.
Bahkan,
putera Pragalba ini disebut-sebut sebagai pendiri masjid pertama di
Madura. Selain itu, Pratanulah yang mengawali hubungan dengan daerah
lain, yaitu Pajang dan Jawa. Perjalanan sejarah Bangkalan tidak bisa
dilepaskan dengan munculnya kekuasaan di daerah Plakaran, yang
selanjutnya disebut dengan Kerajaan Plakaran. Kerajaan ini diperkirakan
muncul sebelum seperempat pertama abad 16, yakni sebelum penguasa Madura
barat memeluk Islam.
Plakaran diawali dengan
kedatangan Kiyai Demung dari Sampang. Dia adalah anak dari Aria Pujuk
dan Nyai Ageng Buda. Setelah menetap di Plakaran, Kiyai Demung dikenal
dengan nama Demung Plakaran. Dia mendirikan kraton di sebelah barat
Plakaran atau sebelah timur Arosbaya, yang dinamakan Kota Anyar (Pa’
Kamar 1951: 113).
Sepeninggal Demung Plakaran,
kekuasaan dipegang oleh Kiai Pragalba, anaknya yang nomor lima. Pragalba
mengangkat dirinya sebagai Pangeran Plakaran dari Arosbaya. Selanjutnya
meluaskan daerah kekuasaannya hingga hampir seluruh Madura. Paragalba
mempunyai tiga orang istri.
Pratanu adalah anak dari
istri ketiganya. Semasa kekuasaan Pragalba inilah agama Islam mulai
disebarkan di Madura barat, yang dilakukan oleh para ulama dari Giri dan
Gresik. Penyebarannya meliputi daerah pesisir pantai sekitar selat
Madura pada abad ke-15 (FA Sutjipto Tirtoatmodjo 1983 : 13) Islam
berkembang pesat sejak penyeberannya dilakukan secara teratur oleh Syech
Husen dari Ampel (Hamka 1981:137).
Bahkan, ia
mendirikan masjid di Arosbaya. Menurut cerita masyarakat Arosbaya,
reruntuhan di sekitar makam Syech Husen adalah masjid yang didirikannya.
Namun meski Islam sudah masuk di Madura barat, Pragalba belum memeluk
Islam. Tetapi justru putranya Pratanu yang memeluk agama Islam.
Peristiwa tersebut ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi: Sirna
Pandawa Kertaning Nagara (1450 caka 1528 M).
Peristiwa
tersebut berbarengan dengan pudarnya kekuasaan Majapahit setelah
dikuasai Islam tahun 1527 M. Selain itu, Kerajaan Plakaran mengakui
kekuasaan Demak, sehingga diperkirakan penerimaan Islam di Madura
bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Majapahit. Menjelang wafat,
Pragalba masuk Islam dengan menganggukkna kepala, karena itu dia
mendapat sebutan Pangeran Onggu’ (mengangguk, Red). Sepeninggalnya,
Pratanu naik tahta dengan gelar Panembahan Lemah Dhuwur. Itu terjadi
pada tahun 1531-1592.
Di masa pemerintahan Lemah Dhuwur
inilah pusat pemerintahan Plakaran dipindahkan ke Arosbaya. Karena itu,
dia mendapat julukan sebagai pendiri Kerajaan Arosbaya. Lemahlah Dhuwur
yang mendirikan kraton dan msajid pertama di Arosabaya. Selama masa
pemerintahan Panembahan Lemah Duwur, kerajaan Arosbaya telah meluaskan
daerah kekuasaannya hingga ke seluruh Madura barat, termasuk Sampang dan
Blega.
Panembahan lemah Duwur mengawini putri Triman
dari Pajang. Ini juga menjadi bukti bahwa Lemah Duwur adalah penguasa
Madura pertama yang menjalinm hubungan dengan Jawa. Berdasarkan Tutur
Madura Barat, Rafless mengatakan bahwa Lemah Dhuwur adalah penguasa
terpenting di daerah Jawa Timur pada masa itu.
Panembahan
Lemah Dhuwur wafat di Arosbaya pada tahun 1592 M setelah kembali dari
kunjungannya ke Panembahan Ronggo Sukowati di Pamekasan. Sesuai dengan
tradisi dia dimakamkan di kompleks Makam Agung Lemah Dhuwur.
Selanjutnya
kekuasaan Arosbaya dipegang oleh putranya yang bernama Pangeran Tengah,
hasil perkawinannya dengan puteri Pajang. Pangeran Tengah berkuasa
tahun 1592-1620. Di masa pemerintahan Pangeran Tengah terjadi peristiwa
terkenal yang disebut dengan 6 Desember 1596 berdarah, karena saat itu
telah gugur dua orang utusan dari Arosbaya yang dibunuh oleh Belanda
yaitu Patih Arosbaya Kiai Ronggo dan Penghulu Arosbaya Pangeran Musarip.
Sejak peristiwa itulah Arosbaya menyatakan perang dengan Belanda.
Pangeran
Tengah meninggal tahun 1620. Makamnya terletak di kompleks makam Syech
Husen, dan sampai sekarang dikeramatkan oleh masyarakat setempat.
Pengganti Pangeran Tengah adalah adiknya yang bernama Pangeran Mas, yang
berkuasa tahun 1621-1624. Sebetulnya yang berhak berkuasa adalah putra
Pangeran Tengah yang bernama Pangeran Prasena. Namun karena masih kecil,
dia diwakili oleh pamannya.
Di masa pemerintahan
Pangeran Mas terjadi peristiwa penyerangan Sultan Agung ke Arosbaya pada
tahun 1624. Itulah yang menyebabkan jatuhnya kerajaan Arosbaya. Sedang
Pangeran Mas melarikan diri ke Demak dan Pangeran Prasena dibawa oleh
juru kitting ke Mataram.
Peperangan antara Mataram dan
Arosbaya yang berlangsung pada hari Minggu 15 Septeber 1624 tersebut,
memang patut dikenang sebagai perjuangan rakyat Madura. Saat itu Mataram
harus membayar mahal, karena mereka telah kehilangan panglima perang
tertingginya, Tumenggung Demak dan kehilangan 6000 prajurit.
Saat
itu laki-laki dan wanita Arosbaya berjuang bersama. Ada sebuah kisah
menarik di sini. Dikisahkan saat di medan perang ada beberapa prajurit
lelaki yang mengeluh karena luka berat. Tetapi katika para wanita
melihat luka tersebut terdapat dibagian belakang, para wanita tersebut
menusuk prajurit tadi hingga tewas.
’’Lukanya di
bagian belakang, artinya prajurit itu telah berbalik lari, hingga
dilukai di bagian punggungnya oleh musuh, mereka pengecut dalam,’’
demikian kata-kata para wanita Arosbaya. atas Cakraningrat I Anak Angkat
Sultan Agung Prasena, putera Pangeran Tengah dari Arosbaya disertai
Pangeran Sentomerto, saudara dari ibunya yang berasal dari Sampang,
dibawa oleh Panembahan Juru Kitting beserta 1000 orang Sampang lainnya
ke Mataram. Di Mataram Prasena diterima dengan senang hati oleh Sultan
Agung, yang sekanjutnya diangkat sebagai anak.
Bahkan,
kemnudian Prasena dinobatkan sebagai penguasa Madura yang bergelar
Cakraningrat I. Dia dianugerahi hadiah uang sebesar 20 ribu gulden dan
berhak memakai payung kebesaran berwarna emas.
Sebaliknya,
Cakraningrat I diwajibkan hadir di Mataram setahun sekali. Karena
selain menjadi penguasa Madura, dia juga punya tugas-tugas penting di
Mataram. Sementara pemerintahan di Sampang dipercayakan kepada Pangeran
Santomerto. Cakraningrat I kemudian menikah dengan adik Sultan Agung,
namun hingga istrinya, meninggal dia tidak mendapat keturunan.
Kemudian
Cakraningrat I menikah dengan Ratu Ibu, yang masih keturunan Sunan
Giri. Dari perkawinannya kali ini dia menmpunyai tiga orang anak, yaitu
RA Atmojonegoro, R Undagan dan Ratu Mertoparti. Sementara dari para
selirnya dia mendapatkan sembilan orang anak, salah satu di antaranya
adalah Demang Melaya. Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645 yang kemudian
diganti oleh Amangkurat I, Cakraningrat harus menghadapai pemberontakan
Pangeran Alit, adik raja. Tusukan keris Setan Kober milik Pangeran Alit
menyebabkan Cakraningrat I tewas seketika.
Demikian
pula dengan puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat ayahnya tewas dia
segera menyerang Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama seperti ayahnya.
Cakraningrat I diganti oleh Undagan. seperti halnya Cakraningrat I,
Undagan yang bergelar Cakraningrat II ini juga lebih banyak menghabiskan
waktunya di Mataram. Di masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan
putra Demang Melaya yang bernama Trunojoyo terhadap Mataram.
Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II dan
kemudian mengasingkannya ke Lodaya Kediri. Pemberontakan Trunojoyuo ini
mendapat dukungan dari rakyat Madura.
Karena
Cakraningrat II dinilai rakyat Madura telah mengabaikan pemerintahan
Madura. Kekuatan yang dimiliki kubu Trunojoyo cukup besar dan kuat,
karena dia berhasil bekerja sama dengan Pangeran Kejoran dan Kraeng
Galesong dari Mataram. Bahkan, Trunojoyo mengawinkan putrinya dengan
putra Kraeng Galesong, unutk mempererat hubungan. Tahun 1674
Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri
sebagai Raja Merdeka Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan
penguasa Mataram. Berbagai kemenangan terus diraihnya, misalnya,
kemenangannya atas pasukan Makassar (mei 1676 ) dan Oktober 1676
Trunojoyo menang atas pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom. Selanjutnya
Trunojoyo memakai gelar baru yaitu Panembahan Maduretna.
Tekanan-tekanan terhadap Trunojoyo dan pasukannya semakin berat sejak
Mataram menandatangani perjanjian kerjasama dengan VOC, tanggal 20 maret
1677.
Namun tanpa diduga Trunojoyo berhasil menyerbu
ibukota Mataram, Plered. Sehingga Amangkurat harus menyingkir ke ke
barat, dan meninggal sebelum dia sampai di Batavia. Benteng Trunojoyo
sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo
menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679. Dengan
padamnya pemberonrtakan Trunojoyo. VOC kembali mengangkat Cakraningrat
II sebagai penguasa di Madura, karena VOC merasa Cakraningrat telah
berjasa membantu pangeran Puger saat melawan Amangkurat III, sehingga
Pangeran Puger berhasil naik tahta bergelar Paku Buwono I.
Kekuasaan
Cakraningrat di Madura hanya terbatas pada Bangkalan, Blega dan
Sampang. Pemerintahan Madura yang mulanya ada di Sampang, oleh
Cakraningrat II dipindahkan ke Tonjung Bangkalan. Dan terkenal dengan
nama Panembahan Sidhing Kamal, yaitu ketika dia meninggal di Kamal tahun
1707, saat dia pulang dari Mataram ke Madura dalam usia 80 tahun.
Raden
Tumenggung Sosrodiningrat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati
Madura barat dengan gelar Cakraningrat III. Suatau saat terjadi
perselisihan antara Cakraningrat dengan menantunya, Bupati Pamekasan
yang bernama Arya Adikara. Untuk menghadapi pasukan dari Pamekasan,
Cakraningrat III meminta bantuan dari pasukan Bali.
Dimasa
Cakraningrat inilah Madura betul-betul bergolak, terjadi banyak
peperangan dan pemberontakan di Madura. Tumenggung Surahadiningrat yang
diutus Cakraningrat untuk menghadapi pasukan Pamekasan ternyata
menyerang pasukan Cakraningrat sendiri dengan bantuan pasukan Sumenep.
Sekalipun Cakraningrat meninggal, pergolakan di Madura masih terus
terjadi. Cakraningrat III digantikan oleh Timenggung Surahadiningrat
dengan gelar Cakraningrat IV. Awal pemerintahan Cakraningrat IV diwarnai
banyak kekacauan. Pasukan Bali dibawah kepemimpinan Dewa Ketut yang
sebelumnya diminta datang oleh Cakaraningrat III, datang dengan membawa
1000 prajurit. Tahu yang meminta bantuan sudah meninggal dan situasi
telah berubah, pasukan Bali menyerang Tonjung. Cakraningrat yang sedang
berada di Surabaya memerintahkan adiknya Arya Cakranegara untuk mengusir
pasukan Bali.
Tetapi Dewa Ketut berhasil membujuk
Cakranegara untuk berbalik menyerang Cakraningrat IV. Tetapi dengan
bantuan VOC, Cakranoingrat IV berhasil mengusir pasukan Arya Cakranegara
dan Bali.
Kemudian dia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sambilangan. Suatau peristiwa yang terkenal dengan Geger Pacina (pemberontakan masyarakat Cina) juga menjalar ke Mataram. Cakraningrat IV bekerjasama dengan VOC memerangi koalisi Mataram dan Cina ini.
Namun
hubungan erat antar Madura denga VOC tidak langgeng. Cakraningrat
menyatakan perang dengan VOC karena VOC telah berkali-kali melanggar
janji yang disepakati. Dengan bekerja sama dengan pasukan Mengui Bali,
Cakraningrat berhasil mengalahkan VOC dan menduduki Sedayu, Lamongan,
Jipang dan Tuban.
Logo Cipta Indra Cakti Dharma Kabupaten Bangkalan |
Cakraningrat juga berhasil mengajak Bupati
Surabaya, Pamekasan dan Sumenep untuk bersekutu melawan VOC. Tapi
Cakraningrat tampaknya harus menerima kekalahan, setelah VOC mengerahkan
pasukan dalam jumlah besar. Cakraningrat dan dua orang putrinya
berhasil melarikan diri ke Banjarmasin, namun oleh Raja Bajarmasin dia
ditangkap dan diserahkan pada VOC.
Cakraningrat
diasingkan ke Kaap De Goede Hoop (Tanjung Penghargaan). dan meninggal di
tempat pembuangannya, sehingga dia juga dikenal dengan nama Panembahan
Sidengkap.
Sumber Dinas Pariwisata Kabupaten Bangkalan, logo: soendoel.blogspot.com
Pencarian:
Koran Radar Bangkalan Madura, Berita Terbaru Bangkalan, Carok di Kabupaten Bangkalan, Sejarah Perjuangan Pahlawan Bangkalan, Asal usul Rato Ebu, Cerita Legenda di Bangkalan, Asal usul Selat Madura, Kapan hari Jadi bangkalan.