Menyusuri Makam Sayyid Hosen Assegaf
Tepat tanggal 29 Maret 2015 kami dari Tim Labang Bhuta sekitar jam 11 pagi berangkat menuju Kecamatan Tanjung Bumi untuk datang dan meneliti Batu Nisan yang berada di Pasarean Sayyid Hosen Assegaf. Sebelumnya kami berkunjung ke Kepala UPT Tanjung Bumi yakni Bapak Suharsana dan kemudian beliau mendampingi Tim Labang Bhuta menuju Pasarean Makam Zimat di Desa Banyusangka, Kec. Tanjung Bumi.
Sampai disana, penelitian dilakukan dengan membaca salah satu batu nisan di luar komplek makam Sayyid Husein Assegaf dengan membersihkan batu nisan yang sudah tampak kusam dimakan zaman. disitulah Pak Hidrochin Sabaruddin, Ahli Sejarah bercerita mengenai arti dari batu nisan tersebut.
Kemudian penelitian dilanjutkan menuju Makam Sayyid Husein Assegaf, disitu terlihat beberapa pengunjung sedang mengaji membaca Ayat Suci Al-Quran. Makam Sayyid Husein ini ditutup oleh kelambu dan batu nisan ditutupi oleh beberapa helai kain putih sebagai pertanda bahwa beliau merupakan tokoh agama yang disegani.
Satu-persatu helai kain dibuka dengan hati-hati hingga kain terakhir dan terlihatlah batu nisan yang selama ini menjadi patok makam Sayyid Hosen, di batu nisan tersebut terdapat relief seakan-akan ada cerita dan makna dibalik ukiran itu.
Sejarah mengenai Sayyid Husein Assegaf
Di suatu desa di wilayah Bangkalan, tersebutlah seorang ulama bernama Sayyid Husein. Beliau mempunyai banyak pengikut karena ketinggian ilmunya. Selain akhlaknya yang berbudi luhur, beliau juga memiliki banyak karomah, karena kedekatannya dengan Sang Khaliq.
Beliau sangat dihormati pengikutnya, dan bahkan penduduk di sekitar Bangkalan. Namun bukan berarti beliau terlepas dari orang yang membencinya, lantaran iri hati akan kedudukan beliau di mata masyarakat saat itu. Hingga suatu hari salah seseorang dari mereka yang iri itu berniat mencelakai dan menghancurkan kedudukan Sayyid Husein. Orang tersebut merekayasa berita, bahwa Sayyid Husein bersama pengikutnya telah merencanakan pemberontakan dan ingin menggulingkan kekuasaan Raja Bangkalan.
Meneliti Batu Nisan Makam Sayyid Hosen Assegaf |
Tentu, berita palsu ini akhirnya sampai ketelinga sang Raja. Mendengar berita itu Raja gelisah dan khawatir, dan tanpa pikir panjang lagi Raja mengutus panglima perang bersama sejumlah pasukannya menuju kediaman Sayyid Husein. Sayyid Husein yang saat itu sedang beristirahat langsung dikepung dan dibunuh secara kejam oleh tentara kerajaan, tanpa pikir panjang dan tanpa disertai bukti yang kuat. Sayyid yang tidak bersalah itupun wafat seketika, dan konon jenazahnya dimakamkan di perkampungan tersebut.
Selang beberapa hari dari wafatnya Sayyid Husein, Raja mendapat informasi yang sebenarnya, bahwa Sayyid Husein tidak melakukan sebagai berita yang tersebar di kerajaan. Ia menyesali keputusannya yang sama sekali tidak berdasar pada bukti-bukti kuat. Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk menebus kesalahan tersebut, hingga Raja berinisiatif memberi gelar kepada Sayyid Husein dengan sebutan Bujuk Banyu Sangkah (Buyut Banyu Sangkah).
Sayyid Husein wafat dengan meninggalkan dua orang putra. Yang pertama bernama Abdul Manan dan yang kedua bernama Abdul Rohim. Sejak kejadian yang menimpa Sayyid Husein, Abdul Rohim lari ke Desa Bire (masih dalam kawasan Kabupaten Bangkalan), dan menetap disana sampai akhir hayat beliau. Dan akhirnya beliau terkenal sebagai Bujuk Bire (Buyut Bire).
Sementara Abdul Manan, pergi mengasingkan diri, menjauh dari kekuasaan Raja Bangkalan. Hari demi hari dilaluinya dengan sengsara dan penuh penderitaan, hingga akhirnya sampai di sebuah hutan lebat di tengah perbukitan wilayah Batu Ampar (Kabupaten Pamekasan). Di hutan inilah beliau bertapa mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pertapaan ini beliau lakukan di bawah pohon kosambih (kesambi) selama 41 tahun, sebelum akhirnya ditemukan seorang anak seorang perempuan yang sedang mencari kayu dihutan. Karena itulah beliau dijuluki Bujuk Kosambih.
Singkat cerita Abdul Manan dibawa ke rumahnya, dan menikah dengan putri sulung yang menderita penyakit kulit. Aneh, pada hari ke-41 pernikahan mereka, si sulung sembuh dari penyakitnya. Bahkan kulitnya bertambah putih bersih dan cantik jelita, hingga kecantikannya tersiar kemana-mana.
Dari pernikahan ini, beliau dikarunia dua orang putra; pertama bernama Taqihul Muqadam, dan yang kedua adalah Basyaniah. Setelah bertahun-tahun berdakwah, beliau wafat dan dimakamkan di Batu Ampar dan terkenal dengan julukan Bujuk Kosambi. (diambil sebagian dari cerita Sejarah Buju' Batu Ampar diambil dari LontarMadura.com, postingan asli oleh TreTans.com yang berubah menjadi PulauMadura.com)