Potret Toleransi Vihara Kwan Im Kiong
Kala Perbedaan Luruh di Talang Siring
Sore itu, Cakrawala di ufuk barat Pantai Talang Siring Pamekasan tampak cerah. Semburat awan menggaris indah, matahari masih menyisakan sinarnya di sela-sela awan yang berjenjang. Di Vihara Kwan Im Po Sat alias Avalokitesvara, seolah seluruh perbedaan luruh dalam harmoni.
Vihara itu berdiri kokoh dan megah. Namanya Vihara Avalokitesvara atau sering juga disebut Kelenteng Kwan Im Kiong, yang bersebelahan dengan lokasi Wisata Pantai Talang Siring. Menurut keterangan, bangunan seluas 3 Hektare ini didirikan pada abad 18. Sekitar 1.800 sebelum masehi. Dinamakan juga Kelenteng Kwan Im Kiong karena di dalamnya ada patung Kwan Im Po Sat alias Avalokitesvara, Dewi Welas Asih. Tingginya 155 sentimeter, tebal tengah 36 cm, dan tebal bawah 59 cm.
Bagi kalangan Tionghoa, Vihara ini punya keunikan tersendiri. Ada legenda atau cerita lisan yang berlangsung turun-temurun termasuk sisa-sisa peninggalan budaya zaman Majapahit.
Pada awal abad ke-16, terdapat sebuah Kerajaan Jamburingin di daerah Proppo, barat Pamekasan yang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit.
Raja-raja Jamburingin yang masih keturunan Majapahit itu punya rencana membangun candi untuk tempat ibadah, tepatnya di kampung Gayam, kurang lebih dua kilometer ke arah timur Kraton Jamburingin dan mendatangkan perlengkapan lewat Pantai Talang Siring dari Kerajaan Majapahit.
Pantai Talang Siring dulu dijadikan tempat berlabuh perahu-perahu dari seluruh penjuru Nusantara. sebab, pantainya landai. Pemandangannya juga indah.
Terlebih bagi armada Kerajaan Majapahit untuk mensuplai bahan-bahan keperluan keamanan ataupun spiritual di Wilayah Pamekasan. Di antaranya, pengiriman patung-patung dan perlengkapan ibadah.
Namun, setelah tiba di pelabuhan Talang, kiriman patung-patung dari Majapahit ke Kraton Jamburingin sama sekali tidak terangkat setelah tiba di Pelabuhan Talang.
Penduduk pada waktu itu hanya bisa mengangkat beberapa ratus meter dari pantai. Akhirnya penguasa Kraton Jamburingin memutuskan untuk membangun candi disekitar Pantai Talang.
Tempat Candi yang tidak terwujud itu, sekarang dikenal dengan Desa Candi Burung merupakan salah satu Desa di Kecamatan Proppo, yang lokasinya berdekatan dengan Desa Jamburingin. Burung dalam bahasa Madura berarti Gagal.
Rencana pembangunan candi di Pantai Talang pun tidak terlaksana seiring perkembangan kejayaan Kerajaan Majapahit yang mulai memudar serta penyebaran agama Islam mulai masuk dan mendapat sambutan sangat baik di Pulau Madura. Termasuk daerah Pamekasan. Akhirnya, patung-patung kiriman dari Majapahit pun dilupakan orang serta lenyap terbenam dalam tanah.
ada yang menarik di dalam Vihara itu. Sejumlah perempuan berjilbab tampak asyik ber foto selfie. Sementara, ditengah komplek peribadatan umat tridarma itu, tampak berdiri Masjid, tepatnya Mushalla dan Pura.
Inilah keunikan Vihara Avalokitesvara. Ada rasa saling menghormati dan toleransi yang kental didalamnya. Seorang pengunjung H. Misbach mengemukakan, dirinya cukup sering ke lokasi ini. "Ini wujud toleransi beragama di Madura. Perbedaan memang bukan untuk dibesar-besarkan, namun harus saling menghormati" ujarnya yang kala itu datang bersama anak istrinya.
Keunikan Vihara ini bahkan menarik perhatian mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfudz MD yang merupakan asli Pamekasan. Beberapa waktu silam, dengan mengenakan baju koko putih, Mahfudz bersama sejumlah koleganya mendatangi tempat bermain di masa kecilnya itu. Menurut penuturannya, semasa kecil dirinya memang sering bermain ditempat ini. Lokasinya tak jauh dari Pantai Talang, Sekitar satu kilometer.
"Saya senang tempat itu (vihara). Saya sering kesana untuk bermain" Ujarnya kala itu. Dirinya memang penasaran terkait keberadaan masjid di areal tempat ibadah umat Tri Darma itu.
Musala berukuran 4x4 meter itu terlihat mencolok dengan warna hijau tua, dengan kubah berbentuk piramid berundak tiga, mirip Masjid Demak maupun Masjid umumnya di Pulau Jawa. Lokasinya tepat didepan kanan vihara. Meski tidak besar, pihak Vihara menyediakan tempat berwudu, sajadah (alas untuk Sholat), Mukena. Jarak musala dengan Vihara hanya 10 Meter.
Dari pengamatan Majalah Suramadu, bukan hanya musala yang berdiri di areal Vihara, tapi ada juga tempat ibadah untuk umat lain. Saya lihat disana ada Pura paling dekat dengan Vihara. Namun ukuran Pura lebih kecil dari Musala, hanya 3x3 meter. Pembangunan Pura atas prakarsa Kapolwil Madura saat itu. yang berasal dari Bali dan menganut Agama Hindu.
"Wah, ini mestinya masuk Guinness Book of Record sebagai satu-satunya Vihara yang didalamnya ada Musala dan Pura. ini bukti bahwa umat beragama di Madura ini bisa hidup rukun dan berdampingan. Kalau tidak toleran tidak akan berdiri Vihara, apalagi di dalamnya ada tempat ibadah penganut agama lain" terang Mahfud yang masa kecilnya dihabiskan di Pamekasan ini sambil berkeliling Vihara.
"Ini seharusnya menjadi prototype tentang kerukunan di Madura. Seharusnya, perbedaan jangan dijadikan alasan untuk saling menyerang, merusak apalagi membunuh. Madura itu sebenarnya orang-orangnya bijaksana, bisa menerima perbedaan sebagai rahmat. Hanya terkadang ada yang memprovokasi" ujar Mahfudz sebagaimana dikutip sebuah Media Nasional.
Dan petang itu, Tjipto, Sudarwan dan Onggodo menyiapkan kertas bagi umat Budha yang akan bersembahyang di Vihara itu. Saat ketiganya asyik bekerja, sayup-sayup terdengar Adzan Mangrib dari kejauhan. Onggodo yang beragama Budha mengingatkan rekannya untuk melaksanakan Sholat Mangrib di Musolla yang berdiri di samping Vihara. Dan seluruh perbedaan itu luruh dalam harmoni alam. di Talang Siring, Pamekasan, Madura.
Oleh: Faisal Yasir Arifin (Majalah Suramadu, Edisi 8, Hal. 30-31)