Tradisi Okol, Tradisi Puja Mengundang Hujan
Siang itu ratusan orang meriung di tanah lapang. Seorang kyai sepuh duduk bersila. bibirnya mendaras doa dan puja yang tak sepenggal pun rantas.
pantang surut meski sengat matahari terus menggeliat. okol, tradisi mengundang hujan yang sarat makna.
Usai Ashar, matahari masih menyengat saat di Desa Nylabu Laok, Pamekasan, Madura ratusan orang khusuk mendaras Ayat Kursi dan Wirid.
Mereka yang awalnya riuh meriung, turut larut dalam puja dan doa. Ya, siang itu mereka memang menggelar tradisi Okol. Sebuah Tradisi yang
lahir dari kearifan lokal madura, sebagai salah satu upaya bermunajat kepada Allah SWT untuk mendatangkan hujan.
Bukan sekedar bermunajat, ada salah satu pertunjukan yang dinanti-nantikan dalam acara itu. Yakni adu oto dalam gulat tradisional yang dalam
bahasa Madura disebut Okol.
Sekilas, tradisi okol ini seperti orang yang hendak bergulat. Dua orang pria dewasa, berada dalam sebuah lingkaran berdiamater 3 meter. Saling berhadapan
dalam posisi siaga.
Ketika wasit memberi tanda okol dimulai, kedua pria dewasa tersebut saling bertumbukan, Sorak penonton bergemuruh. Debu beterbangan hingga
luar arena. Tak ada amarah, hanya ada tawa dan senyum cerah.
itulah Okol, sebuah tradisi memanggil hujan yang sudah turun temurun ada di Madura. Butuh waktu 5 sampai 10 menit untuk mengalahkan musuhkan.
dalam pertandingan Okol, tidak mudah untuk menjatuhkan lawan. Sebab, disamping harus bertubuh kekar, mereka juga harus memiliki kuda-kuda yang kuat
dalam pertandingan ini, siapa yang bisa menjatuhkan musuhnya dengan posisi di bawah yang jadi pemenang. "Meskipunbisa menjatuhkan musuh,
tetapi posisinya berada dibawah musuhnya, dia dinyatakan kalah" Kata Muhammad Takrib, Tetua Desa setempat.
Tradisi Okol ini biasanya dilaksanakan saat musim kemarau berkepanjangan untuk meminta hujan. tradisi itu menjadi rangkaian dari tradisi meminta
meminta hujan lainnya seperti Sholat meminta Hujan (Sholat Istisqa) dan dzikir. "Biasanya digelar usai Ashar, jadi matahari masih terasa terik menyengat", imbuhnya.
Biasanya, tradisi ini digelar dari desa ke desa hingga hujan turun baru dihentikan.
Namun, kini sudah ada pergeseran budaya. Jika biasanya hanya dimainkan saat dimusim panas untuk mengundang hujan, kini saat musim hujan pun juga dimainkan.
Takrib menuturkan, masyarakat di desanya sudah menganggap tradisi tersebut bukan sekedar tradisi untuk meminta hujan, melainkan sudah menjadi hiburan.
"Ketika Okol digelar, masyarakat sangat terhibur. Alasannya, petani butuh hiburan karena musim hujan yang berkepanjangan, banyak tanaman
mereka yang gagal panen" terangnya.
Karena sifatnya hiburan, maka tidak dibuat kompetisi siapa yang kalah dan siapa yang menang. Hanya saja, siapa yang bisa menjatuhkan musuh
dibawah maka dia yang menjadi juara satu dan yang berada diatas menjadi juara dua.
Tidak semua desa di Pamekasan menjalankan Tradisi Okol. Sukarman, pemain Okol yang sering bermain dari desa ke desa, menuturkan ada
enam desa yang masih mempertahankan tradisi tersebut. Salah satu desa yang hingga kini masih mempertahankan adalah Desa Nylabu Laok.
Apakah Tradisi Okol yang sudah dijadikan hiburan tidak melanggar pakem? Menurut Sukarman, sama sekali tidak. "Kalau niatnya hiburan, kan
tidak masalah. Kecuali sudah ada pelanggaran tradisi, seperti menjadi ajang perjudian dan permusuhan", ujarnya.
Sementara itu, Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Pamekasan, Nur Faisal mengatakan, Tradisi seperti itu harus terus dijaga
dan jangan sampai punah. Sebab, hal itu merupakan sebuah produk kearifan budaya Madura yang memiliki nilai filosofi tinggi.
"Ini bisa menjadi salah satu aset budaya yang memiliki nilai tinggi. Dalam beberapa hal, Okol bisa menjadi salah satu daya tarik Wisata di Madura
bagi orang luar yang dapat mensejahterakan rakyatnya, seperti halnya Tari Kecak di Bali. Tinggal bagaimana seluruh Stakeholder yang ada bisa
memolesnya sehingga memiliki nilai yang jauh lebih tinggi", tandasnya. (Faisal Yasir Arifin / Majalah BPWS Edisi 8)