Bagi rombongan wisatawan dari luar Pulau Madura yang datang berkunjung ke Obyek Wisata Religi Pasarean Aermata di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, ada baiknya untuk tidak melupakan Situs Makam Agung di Desa Plakaran. Bahkan, secara etika spiritual, akan lebih afdol bagi para peziarah atau ahli tirakat untuk sowan ke Makam Agung terlebih dahulu sebelum bertandang ke kompleks Pasarean Aermata. Terlebih, lokasi Makam Agung hanya berjarak sekitar dua kilometer sebelah Selatan Pasarean Aermata..
Dalam beberapa sumber sejarah Madura, kawasan di sekitar Makam Agung, tepatnya di Desa Plakaran, Kecamatan Arosbaya, disebut-sebut pernah berdiri kerajaan kecil bernama Kerajaan Plakaran. Kerajaan ini diperintah oleh Ki Demung Plakaran, keturunan dari Prabu Brawijaya (1468-1478), raja terakhir dari Kerajaan Majapahit. Selain terkenal dengan legenda islam onggu’, situs ini juga juga amat berkait erat dengan penetapan tanggal, bulan dan tahun hari jadi Bangkalan.
MAKAM AGUNG SITUS KERAMAT ISLAM ONGGU’
Berawal dari keturunan Ki Demung Plakaran dengan permaisurinya Nyi Sumekar inilah, sistem pemerintahan di wilayah Madura Barat kemudian jadi semakin terbangun dan berkembang pesat. Ketika Kraton Plakaran diperintah Raden Pragalbo, putra ketiga Ki Demung Plakaran, yang kemudian populer dengan sebutan Pangeran Islam Onghu’ (Islam Mengangguk), kekuasaan Kerajaan Plakaran yang pusat pemerintahannya sudah berpindah ke Arisbaya (sekarang Arosbaya), jadi semakin berkembang luas hingga ke seluruh Pulau Madura.
Demikian pula, ketika Kerajaan Arisbaya diperintah oleh Raden Pratanu alias Panembahan Ki Lemah Duwur (1531-1592), salah seorang putra Raden Pragalbo, untuk kali pertama penyebaran Agama Islam dikembang luaskan ke seluruh Pulau Madura. Berikutnya, dari keturunan Raden Pratanu inilah, berturut-turut lahirlah raja-raja besar di kawasan Madura Barat. Termasuk para raja keturunan Raden Praseno alias Pangeran Cakraningrat I dengan permaisurinya Kanjeng ratu Syarifah Ambami, yang kita ketahui memerintah wilayah Madura Barat hingga tujuh turunan, dan situs makamnya menyatu di kompleks Pasarean Aermata.
Dengan demikian, bisa kita simpulkan di sini, Situs Makam Agung yang kini menjadi tempat persemayaman makam Raden Pragalbo dan Raden Pratanu alias Panembahan Ki Lemah Duwur, merupakan situs makam leluhur dari seluruh raja di kawasan Madura Barat. Juga merupakan awal dari penyebaran Agama Islam di Bumi Madura. Dari situs Makam Agung ini pula, tetenger Hari Jadi Bangkalan digali, dianalisa dan kemudian dikukuhkan oleh para pakar sejarah melalui proses penilitian dan forum seminar cukup panjang.
Itu sebabnya, dalam konteks spiritual, adalah hal yang logis dan wajar jika situs Makam Agung di Desa Plakaran, seperti situs purbakala Bukit Geger dan Pasarean Aermata, pada akhirnya juga banyak dikeramatkan orang. Bahkan, dalam kaca mata pandang para sesepuh spiritual setempat, bagi siapapun para peziarah atau ahli tirakat yang akan berkunjung ke Pasarean Aermata, akan lebih baik jika terlebih dahulu sowan ke Makam Agung. Alasannya, selain situs ini lebih tua, di dalamya juga bersemayam makam leluhur para raha di kawasan Madura Barat.
Sayangnya, dari sisi kultural, situs Makam Agung tidak memiliki peninggalan karya seni yang adiluhung seperti di kompleks Pasarean Aermata. Bangunan pisik situs Makam Agung, meski menyiratkan konstruksi dan arsitektur bangunan kuno, hanya berwujd pagar kaliling dengan ukuran sekitar 20 X 40 meter saja.
Warangka dan batu nisan dari puluhan makam yang tersebar di dalamnya, termasuk situs makam Raden Pragalbo dan Panembahan Ki Lemah Duwur, juga tidak dihiasi pahatan seni ukir yang menyiratkan simbol-simbol filosofis seperti makam para raja di Pasarean Aermata. Demikain pula, semua makam yang ada, tidak pula berada di bawah naungan bangunan cungkup, melainkan terhampar begitu saja di alam terbuka.
Meski begitu, suasana situs Makam Agung terasa begitu teduh, serta menyiratkan aura cukup sakral. Ini terjadi lantaran di sekitar kompleks Makam Agung, bertebaran sejumlah pohon beringin tua cukup besar, selain ada pula sebaran pohon kamboja dengan aroma wawangiannya yang spesifik.
Selain itu, lokasi Makam Agung yang berada di tengah hamparan sawah penduduk sekitar, juga belum dilengkapi sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Di lokasi makam, sejauh ini belum ada deretan kios souvenir aarts, areal parkir, serta deretan warung makanan tradisional. Satu-satunya prasarana penunjang yang ada, hanyalah banguan baru berupa sebuah cungkup peristirahatan, Musholla kecil dan sebuah toilet.
Berkat kebersahajaan faslitas, sarana dan prasarana penunjangnya itulah, arus kunjungan wisatawan ke obyek sisata religi Makam Agung, secara kuantitatif, jauh lebi kecil dibanding kunjungan ke Pasarean Aermata. Para peziarah dan ahli tikarat dari luar Pulau yang bertandang ke situs makam tua itu hanya bersifat satuan. Tidak dalam bentuk rombongan bus pariwisata ziarah yang kaprah berkunjung ke kompleks Pasarean Aermata.
Hanya saja, bagi siapapun wisatawan yang ingin sowan ke Makam Agung, juga bisa ditempuh dengan perjalanan yang mudah. Sebab lokasi Makam Agung saling berdekatan dengan Kompleks Pasarean Aertmata. Jaraknya hanya sekitar dua kilometer saja. Arau berjarak sekitar 17 km sebelah Utara Pusat Pemerintahan Kota Bangkalan. Prasarana jalan raya menuju ke Makam Agung juga sudah mulus, nyaman dan aman. Seluruh betangannya berwujud jalan hot-mix.
Legenda Islam Onggu’
Seperti legenda linangan Aermata Kanjeng Ratu Syarifah Ambami yang kemudian diabadikan sebagai nama Pasarean Aermata, situs Makam Agung di Desa Plakaran juga menyimpan legenda yang tak kalah menyentuh hati. Legenda ini berkait erat dengan kisah tentang upaya Peng-Isalaman Raden Pragalbo, ayah kandung Raden Pratanu alias Panembahan Ki Lemah Duwur (1531-1592). Bagaimana kisahnya ?.
Syahdan, pada kisaran awal abad ke XV silam, Ki Demung, salah seorang keturunan dari Raja Majapahit yang terakhir, Prabu Brawijaya V ( 1468-1478), berdomisili di sebuah padukuhan kecil bernama Madegan ( di Kabupaten Sampang). Setelah dewasa, salah seorang dari dua anak hasil perkawinan Aryo Pojok dengan Nyi Ageng Budho, itu kemudian hijrah kesebuah padukuhan kecil di kawasan Madura Barat bernama Plakaran ( di Kabupaten Bangkalan).
Di tempat pemukimannya yang baru inilah, Ki Demung kemudian membentuk komune (kelompok masyarakat) baru, sekaligus mendirikan sistem pemerintahan kecil-kecilan. Itu sebabnya, Ki Demung yang kemudian memposisikan diri sebagai pimpinan, lalu mentasbihkan diri sebagai raja kecil dengan gelar Ki Demung Plakaran.
Karena kepemimpinannya yang arief dan bijak, Ki Demung Plakaran menjadi sosok penguasa yang amat dicintai para pengikutnya. Dia kemudian menikah dengan seorang kembang padukuhan setempat bernama Ni Sumekar. Keduanya dianugerahi lima orang anak, masing-masing bernama Ki Pramono, Ki Pratolo, Ki Pratali, Ki Panangken dan Ki Pragalbo.
Pada suatu saat, Ki Demung kemudian melakukan meditasi guna memperoleh petunjuk dari Sang Penguasa Alam Semesta, siapa kira-kira diantara kelima putranya yang kelak pantas menggantikan dirinya sebagai penuasa Pkalaran. Di sinilah, Ke Demung kemudian memperoleh wangsit bahwa putra kelimanya, Raden Pragalbo, dinilai paling layak untuk dipersiapkan sebagai penggatinya, karena kelak akan menurunkan raja-raja besar penguasa kawasan Madura Barat.
Setelah Ki Demung Wafat, Raden Pragalbo memang dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kecil Plakaran. Nyatanya, di bawah kepemimpinan Raden Pragalbo, suasana kehuidupan masyarakat di sekitarnya jadi semakin makmur-sejahtera. Itu sebabnya, daerah kekuasaan Plakaran kemudian semakin luas. Saat itulah, Raden Pragalbo kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari dukuh kecil Plakaran ke Arisbaya (sekarang Kecamatan Arosbaya).
Disepanjang pemerintahannya, Raden Pragalbo memiliki tiga istri. Masing-masing Nyi Angsuko dan Nyi Padopo, keduanya berasal dari Proppo (Kabupaten Pamekasan), serta istri yang ketiga bernama Nyi Ageng Mamah dari Madegan ( Kabupaten Sampang). Dari istri ketiganya inilah, Raden Pragalbo dianugerahi tiga orang putra, masing-masing bernama Ki Pratanu, Ki Prakoso dan Ki Pranoto.
Setelah beranjak sepuh, Raden Pragalbo kemudian mepresiapkan putra sulungnya Ki Pratanu sebagai calon putera mahkota. Dari sinilah, kisah tentang legenda Islam Onggu’ itu bermula. Konon, Ki Pratanu yang mulai beranjak remaja, dalam tidurnya kerap kali didatangi oleh seorang lelaki amat tampan dan berbusana serba putih (sorban). Setiap kali muncul dalam mimpinya, sosok lelaki itu selalu menganjurkan agar Ki Pratanu segera memeluk agama baru, yakni Agama Islam. Juga dianjurkan agar mendalami agama baru itu ke daerah Kudus.
Karena mimpi serupa berulang kali, Ki Pratanu akhirnya bercerita seputar mimpinya itu kepada sang ayah Raden Pragalbo. Itu sebabnya, Raden Pragalbo kemudian mengutus Patihnya Empu Bageno untuk pergi ke Kudus guna menyelidiki seluk-beluk seputar agama baru itu. Dalam beberapa sumber sejarah Madura, tidak disebutkan apakah keluarga Raden Pragalbo saat itu memeluk Agama Hindu atau Budha.
Alkisah, sesampainya di daerah Kudus, Empu Bageno kemudian berjumpa dengan Sunan Kudus. Dihadapan salah satu dari sembilan Wali Songo yang kesohor itulah, Empu Bageno menjelaskan maksud dan tujuannya. Di sini, Sunan Kudus menegaskan bahwa Empu Bageno akan bisa mendalami Agama Islam secara fasih jika dia masuk dam memeluk Agama Islam. Pada akhirnya, Empu Bageno tidak hanya sekedar masuk Islam, tetapi juga menjadi santri kesayangan Sunan Kudus yang amat tekun dan patuh.
Setelah menjadi muslim yang taat dan khusuk, Empu Bageno akhirnya pulang ke Kraton Arisbaya. Dihadapan Ki Pratani, dia lalu menceriterakan bahwa dirinya telah memeluk Agama Islam, sekaligus menjelaskan tentang keunggulan Agama baru yang didalaminya dari Sunan Kudus itu. Di sini, Ki Pratanu sempat gusar lantaran Empu Bageno memeluk Islam terlebih dahulu. Namun, pada akhirnya Ki Pratanu dengan ikhlas lalu mengucapkan dua kalimat Syahadad, sebagai tetenger bahwa dirinya telah memluk Agama Islam.
Melalui jasa Empu Bageno dan Ki Pratanu inilah, saat itu penyebaran Agama Islam mulai dikembang luaskan di wilayah Madura Barat. Bahkan perkembangannya kemudian berekskalasi hingga ke wilayah Madura Timur, terutama di Kabupaten Sampang dan Pamekasan. Di era kepemimpinan Ki Pratanu inilah, untuk pertama kalinya sebuah mesjid dibangun dan didirikan di Arosbaya. Inilah start awal dari penyebaran Agama Islam di Pulau Madura.
Mengingat sebagian besar Rakyat Kerajaan Arisbaya sudah memluk Islam, Ki Pratanu dengan sikap welas-asih, kemudian berupaya menyadarkan ayahnya Raden Pragalbo agar juga memeluk agama baru itu. Namun, sang ayah tetap bergeming untuk mempertahankan kayakinan lamanya.
Barulah, ketika Raden Pragalbo sudah udzur dan sakit keras, dia menyadari akan kebenaran dan kebesaran Islam. Dengan kesadaran yang mantap, Raden Pragalbo menyatakan bersedia untuk masuk dan memeluk Agama Islam. Saat itulah, Ki Pratanu lalu menuntun sang ayah untuk mengucapkan dua kalimah Syahadad. Namun, karena kondisi pisik Raden Pragalbo sudah kirtis, dia tak sanggup lagi mengucapkan lafal dua kalimah Syahadad, kecuali sekedar bisa mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda setuju memeluk Agama Islam.
Seusai menganggukan kepala itulah, Raden Pragalbo kemudian wafat. Sejak saat itulah, Raden Pragalbo kemudian diabadikan dengan gelar baru bertajuk Pangeran Islam Onggu’ (Pengeran Islam Mengangguk). Begitulah, legenda tentang kisah Ke-Islaman Raden Pragalbo, yang hingga saat ini tetap populer dan mengkristal di kalangan masyarakat Madura, terutama Rakyat Kabupaten Bangkalan.
Tetenger Hari Jadi Bangkalan
Selain memendam kisah Ke-Islaman Raden Pragalbo yang melegenda, situs Makam Agung juga amat berkait erat dengan penetapan tanggal, bulan dan tahun hari jadi Bangkalan. Sebab dari situs makam tua inilah, tetenger hari jadi Bangkalan digali, dianalisa, untuk kemudian dikukuhkan melalui forum seminar oleh para pakar sejarah, para bangsawan dan para petinggi Pemkab Bangkalan pada tahun 1991 s/d 1992 lalu.
Pada akhirnya, para pakar sepakat tetenger hari jadi Bangkalan harus dipetik melalui peristiwa penobatan Ki Pratanu sebagai Putra Mahkota Kerajaan Arosbaya oleh sang ayahanda Raden Pragalbo. Itu terjadi setelah Ki Pratanu masuk dan memeluk Agama Islam, kemudian menyebar luaskan hingga ke wilayah Timur Pulau Madura.
Menjelang diangkat sebagai putra mahkota (Pangeran Adipati), Ki Pratanu memohon izin kepada sang ayahanda untuk membangun kraton baru di atas dataran tinggi seputar Kerajaan. Pada akhirnya, bersamaan dengan peresmian kraton baru itulah, Raden Pragalbo kemudian menobatkan Ki Pratanu sebagai putra mahkota.
Saat itu, ketika menobatkan putranya, Raden Pragalbo menyuarakan sabda dan titah sebagai berikut ,
”Wahai anakku, dengan disaksikan Rakyat Plakaran, mulai saat ini, dalam Chandra Sengkala Sirno Pendowo Kertaning Negari, kamu saya angkat sebagai putera mahkota kerajaan ini dengan gelar Pangeran KI Lemah Duwur ( Pangeran Dataran Tinggi ). Dan Mulai sekarang, di Negeri Madura Barat ini, saya berlakukan mulai adanya Arisbanggi,”.
Dalam kalimat sabda penobatan Ki Pratanu sebagai putera mahkota itu, ada beberapa kalimat yang patut diterjemahkan dan dikaitkan dengan tahun Caka. Diantaranya, kalimat Candra Sangkala Sirno Pendowo Kertaning Negari, bisa diterjemahkan dan dipilah sebagai berikut : Kata Sirno berarti 0 (habis), Pendowo berarti 5, Kerta berarti 4 dan Negari berarti 1.
Jika dirangkai, terjemahan setiap kata itu akan menjadi rangkaian angka 0541. Namun sebagaimana kelaziman dalam menterjemahkan tahun Caka, rangkaian angka itu harus ditata terbalik sehingga berubah menjadi 1450. Kemudian, jika ingin dirubah menjadi tahun masehi, rangkaian angka tahun Caka itu harus ditambah 78, sehingga jumlahnya menjadi tahun 1528 Masehi. Inilah tahun penobatan Ki Pratanu menjadi putera mahkota dengan gelar Pangeran Ki Lemah Duwur.
Sementara kata-kata Arisbanggi dalam sabda penoibatan Ki Pratanu sebagai putera mahkota, bisa diterjemahkan sebagai berikut,”Aris berarti Ada dan banggi berarti Aturan“. Artinya, pada saat Ki Pratanu dinobatkan, sejak saat itulah di Kerajaan mulai diberlakukan serbaneka aturan (sekarang undang-undang) sebagai pedoman untuk mengendalikan sistem pemerintahan di Kerajaan. Dari kata-kata Arisbanggi inilah, pada akhirnya Kerajaan di bawah kekuasaan Raden Pragalbo berubah nama dari Kerajaan Plakaran menjadi Kerajaan Arisbaya (sekarang Arosbaya). Yakni sebuah kerajaan di Madura Barat yang sudah memiliki aturan dalam mengelola sistem pemerintahan. Inilah, Kerajaan pertama di Madura Barat dalam arti yang sebenarnya. Yakni dikukuhkan pada tahun 1528 Masehi.
Tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 1531 Masehi Raden Pragalbo wafat, beberapa saat setelah bersedia memluk Agama Islam dengan anggukan kepala (Islam Onggu’). Saat itu pula Ki Pratanu yang sudah menjadi putra mahkota secara resmi kemudian dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Arisbaya dengan gelar Panembahan Ki Lemah Duwur, menggantikan ayahandanya Raden Pragalbo. Lalu tanggal dan bulan berepa penobatan itu terjadi ?. Inilah yang kemudian digali dan diseminarkan sejak tahun 1991 hingga tahun 1992 lalu.
Setelah melalui proses cukup panjang, Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Museum Trowulan, Mejokerto, Drs Moh Romli, dan Dosen Archeologi Islam di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, Dra Inajati Adriasianti, lalu menemukan jejak fakta bahwa Tahun 1531 Masehi, tahun penobatan Pabnembahan Lemah Duwur menjadi Raja Arosbaya, identik atau sama dengan Tahun 938 Hijriyah (Kalender Islam).
Berikutnya, jika dikaitkan dengan tradisi penobatan raja-raja Islam di Pulau Jawa, biasanya selalu dilakukan setiap tanggal 12 Robbi’ul Awal, bersamaan dengan pelaksanaan ritual Sekaten atau Grebek Maulud Nabi.Atau dengan kata lain, kedua pakar tersebut, akhirnya hakkul yakin penobatan Panembahan Lemah Duwur menjadi Raja Arisbaya, terjadi pada tanggal 12 Robib’ul Awal 938 Hijriyah.
Berikutnya, merujuk kepada buku berbahasa Jerman berjudul Muhammadanischen Und Christilachen Zeittrechnung ( tentang kejadian-kejadian penting Islam dan Kristen) yang disusun oleh Ferdinand Wustenfiel, pada akhir ditemukan jejak penjelasan yang menegaskan bahwa tanggal 12 Robbi’ul Awal Tahun 938 Hijriyah, identik atau sama dengan hari Selasa 14 Oktober 1531 Masehi.
Pada akhirnya, para pakar sejarah dan purbakala, Bupati, DPRD, serta para tokoh bangsawan dan budayawan di Kabupaten Bangkalan, sepakat bahwa hari Selasa 24 Oktober 1531 merupakan penobatan Panembahan Lemah Duwur sebagai Raja Kerajaan Arosbaya, sekaligus dikukuhkan dsebagai tetenger hari jadi Bangkalan.
Demikian sekilas pintas tentang ulasan Situs Makam Agung, yang kini tidak sekedar populer sebagai salah satu obyek wisata religi andalan Kabupaten Bangkalan, melainkan juga menjadi sumber inspirasi dan rujukan penentuan hari jadi Bangkalan. Mudah-mudahan, semua materi di dalamnya bisa menambah wawasan pengetahuan, sekaligus pemahaman atas awal mula terbentuknya sistem pemerintahan di kawasan Madura Barat.